Selasa, 12 Oktober 2010

pasangan asal australia menikah tanpa busana

Hampir setiap pasangan memimpikan pesta pernikahan tak terlupakan seumur hidup. Seperti pasangan asal Australia, Ellie Barton dan Phil Hendricott, yang nekat menggelar pernikahan tanpa busana di hadapan 250 kerabat dekatnya. 

Seperti dikutip dari laman The Sun, mempelai wanita hanya mengenakan kerudung putih panjang di sanggulnya. Payudara dan organ intimnya hanya tertutup cat tubuh (body paint). Sementara mempelai pria hanya membawa topi untuk menutup organ intimnya. 

Pernikahan yang berlangsung Februari 2009 silam itu disiarkan secara live oleh stasiun radio B105 yang menjangkau lebih 1.000 pendengar di Brisbane. 

Pasangan berusia 25 tahun itu terlihat sangat antusias dan bahagia. Mereka sama sekali tak menunjukkan rasa malu saat mengucap janji nikah di hadapan 250 tamu undangan yang seluruhnya berpakaian lengkap. 

Ellie dan Phil ternyata bukan satu-satunya pasangan yang memilih meninggalkan tuksedo dan gaun pernikahan bertabur kristal untuk menikah. Ada sejumlah pasangan yang juga berusaha menciptakan momen tak terlupakan dengan menggelar pernikahan tanpa busana. 

Salah satu tempat paling terkenal dengan upacara pernikahan telanjang adalah Resor Hedonisme III  di Runaway Bay, St Ann. Pada perayaan Valentine 2003, sebanyak 29 pasangan tanpa busana mengucap janji di tempat tersebut. Itu menjadi salah satu pesta pernikahan telanjang terbesar.

hammer car

"Aku melawan teroris part 2"

Imam Samudra menyebutkan sejumlah tokoh-tokoh yang menurutnya menempuh manhaj Salaf seperti Salman bin Fahd Al-‘Audah, Dr. Safar Al-Hawali, Dr. Aiman Azh-Zhawahiri, Sulaiman Abu Ghaits, Dr. Abdullah Azzam, Usamah bin Ladin, serta Maulani Mullah Umar. Kemudian mereka dia istilahkan dengan ulama mujahid. (Aku Melawan Teroris, hal. 64)

Bantahan
Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf. Asy-Syaikh Ibnu Baz, dan Asy-Syaikh Al-Albani serta Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah, Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, serta para ulama yang berjalan di atas manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah –dan dia (Imam Samudra) sendiri juga menyatakan demikian– banyak menjelaskan tentang kesesatan tokoh-tokoh tersebut dan jauhnya dari manhaj Salaf. Lalu bagaimana dia gabungkan tokoh-tokoh itu dengan para ulama bermanhaj Salaf?
Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyyah, Ikhwaniyyah, dan Kharijiyyah. Hal itu terbukti dengan sejumlah aksi-aksi dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh tersebut yang dipenuhi dengan penyimpangan dan pemikiran yang menyesatkan. Cukuplah bantahan Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil dan yang lainnya menjadi saksi. Bahkan ketika beliau (Asy-Syaikh Muqbil) ditanya tentang Usamah bin Ladin, jawabnya, “Aku berlepas diri dari Usamah bin Ladin, dia adalah kejelekan dan bala’ atas umat, tindakan-tindakannya pun jelek.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz memperingatkan dari bahaya mereka, “Tidak boleh seorang pun untuk bekerja sama dengannya dalam kejelekan dan hendaknya mereka meninggalkan kebatilan ini.” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fi Al-Qadhaya Al-Ashriyyah hal. 191-201)


Imam Samudra mengatakan, “Dengan demikian jelaslah bahwa (warga) “sipil” bangsa-bangsa penjajah yang pada asalnya tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan melampaui batas yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Dengan demikian, tercapailah keseimbangan hukum dalam perlawanan dan demikian jihad bom Bali tidak dilakukan secara asal-asalan dan serampangan.” (Aku Melawan Teroris hal. 116). Di halaman 135 sampai 145, dia berbicara tentang Islam dan keadilannya meski dalam kondisi perang, hingga berakhir pada kesimpulan bolehnya membunuh warga sipil, rakyat biasa yang non-muslim di mana saja dengan dalil orang-orang kafir pun telah membantai warga sipil rakyat biasa kaum muslimin.

Bantahan
Entah keadilan dan keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga sipil dari negara penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum muslimin dan mereka terlibat dalam penyerangan terhadap kaum muslimin, maka dapat dibenarkan memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan bom Bali? Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa di Bali sedang berkecamuk perang antara muslimin dan kafirin. Lagi pula, tak sedikit dari kaum muslimin yang menjadi korban bom jahat itu. Adapun ayat yang dijadikannya sebagai dalil:

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

“Barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia, sebanding dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194)
Dan ayat:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ


“Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126)
Ayat-ayat ini sesungguhnya justru menjadi hujjah atasnya. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini, ada kemiripan dengan ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an. Ayat ini meliputi disyariatkannya adil dan anjuran kepada sesuatu yang utama.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/617)
Warga sipil yang muslim ataupun non muslim tak seorang pun di antara mereka yang melakukan penyerangan dan terlibat perang, maka pembunuhan yang dilakukan terhadap mereka berarti menggugurkan salah satu pokok dari pokok-pokok Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى. وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى. أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (Yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 36-39)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) tidak pada waktu/ tempatnya maka Allah mengharamkan surga untuknya.” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2760, An-Nasai dalam Sunan-nya no. 4761 dari shahabat Abu Bakrah radhiallahu 'anhu)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni perangilah mereka (orang-orang kafir) di jalan Allah dan jangan melampaui batas dalam hal itu. Termasuk melakukan hal-hal yang dilarang seperti kata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: Mencacah mayat orang kafir, mengambil harta rampasan perang tanpa sepengetahuan pemimpin jihad, membunuh wanita dan anak-anak serta orang tua (jompo) yang tidak memberikan bantuan pemikiran kepada mereka (pasukan kafir) dan tidak pula ikut perang bersamanya, membunuh pendeta dan biarawan, membakar pepohonan, dan membunuh hewan tanpa ada kemaslahatan. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Umar ibnu Abdil ‘Aziz, Muqatil bin Hayyan, dan selainnya.” (Kemudian) Ibnu Katsir mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 1/253)
Posted by Picasa

Senin, 11 Oktober 2010

"Aku melawan teroris"

(Manhaj) "Aku Melawan Teroris" Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah (bag.1)

Untuk anggota Kaj
Yudi Eka Sandhya Putra 10 Oktober jam 0:53 Balas Laporkan
"Aku Melawan Teroris" Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah
Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa misi perbaikan alam dan menegakkan kemaslahatan hamba, seperti beliau nyatakan dalam sabdanya:

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّ عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sesungguhnya tak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali menjadi hak atasnya untuk menunjukkan umatnya pada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan memperingatkan dari kejelekan yang diketahuinya untuk mereka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Imarah no. 1844)


Tak diragukan bahwa para Salaf, yakni para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah orang-orang terdepan dalam meraih kemaslahatan dan menghindar dari segala kerusakan. Hal ini pulalah yang kemudian mereka serukan sebagai suatu manhaj yang dianut. Maka, Manhaj Salaf adalah dakwah Al-Haq, dakwah Islam, di mana Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Seruannya datang untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid, dari kerancuan dan bid’ah menuju kesatuan sunnah dan aqidah. Sama sekali tidak berdiri di atas hawa nafsu dan ra‘yu (logika), akan tetapi di atas apa yang telah Allah tetapkan. (Usus Manhaj As-Salaf fi Da’wati Ilallah, oleh Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi rahimahullah hal. 98)

Manhaj Salafush Shalih Manhaj Kebaikan dan Kebenaran
Mengikuti Manhaj Salafush Shalih dalam memahami agama adalah hal yang sangat terpuji dan sikap yang paling benar. Bagaimana tidak, sebab manhaj ini bertolak dari Salaful Ummah (umat terdahulu) dari kalangan shahabat dan tabi’in yang telah mendapatkan jaminan kebaikan dan kebenaran. Karena itu, siapapun yang berjalan di atas manhaj ini dan mengikutinya dengan baik, tentu akan mendapatkan jaminan berharga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang keridhaan-Nya terhadap orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Juga (Allah mengabarkan) keridhaan mereka terhadap (Allah) atas apa yang Allah janjikan untuk mereka berupa jannah yang dipenuhi kenikmatan-kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/404)
Para pembaca, ketika berbicara manhaj Salafus Shalih maka sejatinya kita berbicara tentang gambaran Islam yang murni dan bersih, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya berada di atasnya. Maka ketika menyerukan manhaj Salaf, berarti kita menyerukan untuk berpegang teguh dengan manhaj Islam yang lurus yang mereka (para pendahulu) telah menempuhnya, bukan ajakan untuk taqlid terhadap pribadi tertentu sebab tidak ada yang patut diikuti (secara mutlak) kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak ada cela bagi siapa yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib hal itu diterima secara sepakat karena sesungguhnya manhaj Salaf tidak ada di dalamnya kecuali kebenaran.” (Majmu’ul Fatawa, 4/149 diambil dari Irsyadul Bariyyah hal. 20 dan 24)
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’d As-Suhaimi rahimahullah mengatakan, “Dari sinilah, komitmen yang paling pantas dan abadi hanyalah kepada manhaj Islam dengan apa yang telah Allah syariatkan untuk kita… Komitmen bukanlah terhadap pribadi-pribadi tertentu, lembaga-lembaga, ataupun jamaah-jamaah yang selalu (merupakan) tempatnya salah dan benar.” (Manhaj As-Salaf fil ‘Aqidah hal. 45)
Oleh karena itu manhaj Salafus shalih bukanlah manhaj yang beragam warna sehingga bisa berubah-ubah manakala salah satunya dibutuhkan. Misalnya dalam masalah fiqh dan tauhid mengikuti para ulama yang menempuh manhaj Salaf, dalam hal politik mengikuti tokoh-tokoh politik dengan alasan mereka lebih paham perpolitikan, dalam bidang jihad bersama dengan tokoh-tokoh yang diistilahkan dengan “ulama mujahid”, meski tokoh-tokoh tersebut tidak menempuh manhaj Salafus Shalih.
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan, “Seorang muslim yang bertumpu pada Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan dapat berwarna-warni secara mutlak. Adapun muslim yang bertumpu pada jamaah atau kelompok hizbiyyah –meski (menamakan dirinya) Islam– akan memaksanya sehingga ia harus banyak warna dengan dalih bahwa itu adalah ijtihad dan perubahan.” (Fatawa fi Al-Jama’at wal-Ahzab Al-Islamiyyah hal. 25)

Aliran-aliran Sesat Mengklaim sebagai Ahlus Sunnah
Menjadi kebiasaan ahli bid’ah dan ahli batil, ketika mereka menebar racun kesesatannya akan menampakkan kedok kebaikan, menebeng di balik gambaran keislaman yang benar, mengaku sebagai pengikut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sejarah membuktikan, mereka acap menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, pengikut manhaj Salafus Shalih, padahal sejatinya bukan.
Asy-Syaikh ‘Abbas bin Manshur As-Saksaki rahimahullah berkata, “Seluruh aliran sesat telah menamakan dirinya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah padahal tidak sesuai kenyataan. (Namun itu) hanya berupa kedengkian dan kedustaan atasnya, serta penisbatan kepada yang bukan aqidahnya.” (Al-Burhan fi Ma’rifati Aqa’idi Ahlil Adyan hal. 61)
Bagaimanapun usaha penyesatan yang dilakukan ahlil bid’ah sejak dulu meski bersembunyi di balik nama yang mulia, hakekat mereka tetap nampak. Sifat yang kentara dalam diri mereka adalah menolak untuk menempuh jalan kaum Salaf. Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para pengikut manhaj Salafus Shalih dalam hal aqidah, ucapan, ataupun amalan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok As-Sunnah bagi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang ada di atas para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta mencontoh mereka.” (Ushul As-Sunnah hal. 35)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menerangkan tentang jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah. Beliau berkata, “Jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah adalah mengikuti atsar-atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lahir dan batin, mengikuti jalan orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah bersabda: ‘Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah ia dan gigitlah dengan gigi geraham…’.” (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya hal. 179-180, cetakan Darul Fikr)

Bantahan terhadap Buku Aku Melawan Teroris
Nebeng-menebeng adalah gaya yang disukai banyak orang. Pasalnya, di samping mudah, juga praktis dan gratis. Namun hal itu sangat berbahaya manakala ahli bid’ah dan ahli batil yang memperagakannya. Tentu, mengakibatkan banyak umat akan tertipu. Di kala manhaj Salafus Shalih mulai kembali dikenal umat dengan karunia Allah lalu dengan keutamaan para ulama Ahlus Sunnah yang senantiasa menyerukan untuk kembali kepada dakwah Islam yang haq, maka untuk menjauhkan umat dari As-Sunnah dan para ulamanya dan menyebarkan kerancuan di tengah-tengah mereka, tak sedikit dari para ahli bid’ah yang sembunyi di balik manhaj yang benar, manhaj Salafus Shalih.
Sebut saja Imam Samudra, salah seorang pelaku peledakan bom jahat Bali yang mengguncang Indonesia di antara rentetan peristiwa bom-bom lainnya di tanah air. Dengan ulahnya itu isu terorisme pun kian santer. Lewat buku yang ditulisnya yang berjudul Aku Melawan Teroris1, dia mengaku berpola keislaman menurut manhaj Salafus Shalih, dan bahwa tindakannya pun atas dukungan para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih.
Inilah terutama yang menjadi sorotan saya terhadap isi buku tersebut, di samping tindakan-tindakannya yang dia nisbatkan pada para Salafus Shalih. Tentunya ini semua sebagai upaya nasehat bagi yang bersangkutan dan Al-Bayan (penjelasan) kepada umat bahwa cara yang ditempuhnya jauh dari manhaj Salafus Shalih dan tidak pula berjalan di atas fatwa para ulama yang menempuh manhaj Salaf. Wallahul musta’an.